August 19, 2022

Mengqadha Puasa Tidak Wajib Berurutan

ilustrasi-puasa

Mengganti Puasa Boleh hari apa saja? . bulan ramadhan telah meninggalkan kita dan siapa yang menjalankan ibadah puasa 30 hari full  maka iya adalah pemenang dalam menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Adapun untuk amalan sholeh yang di kerjakan di bulan ramadhan. Wallahu  a’lam. Karena hanya allah yang mengetahui apakah ibadah kita diterima atau tidak oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Untuk kalian yang puasanya tidak full  tiga puluh hari, maka wajib untuk genapkan puasanya , dengan menggantinya di hari selesai hari idul fitri. Waktunya sampai ketemu bulan ramadhan berikutnya .  ada yang bertanya  Qadha’ puasa ramadhan apakah boleh ditunda? Berikut penjelasannya

Mungkin kalian ada yang belum mengetahui apa itu Qadha’. Qadha’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. (Lihat Roudhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1: 58.)

 Setelah mengetahui definisi dari qadha’. Kita akan menjawab pertanyaan apakah qadha puasa boleh ditunda?  Jawabannya “ BOLEH ” qadha puasa ramadhan boleh ditunda, penjelasannya tidak harus dikerjakan setelah bulan ramadhan  yaitu di bulan syawal. Tetapi kalian boleh melakukan di bulan lainnya seperti bulan Dzulhijjah hingga bulan Sya’ban , yang penting  sebelum masuk Ramadhan selanjutnya.

Diantara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah Pernah Menunda Qadha Puasanya sampai bulan Sya’ban (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

 Anjuran dalam meng Qadha ‘Ramadhan dilaksanakan sesegera mungkin ( tanpa harus di tunda-tunda) Allah Ta’ala Berfirman.

Artinya : “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Menunda qadha‘ Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya

Syaikh Ibnu Baz Menjawab, “ Orang yang menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan berikutnya tanpa uzur wajib bertaubat kepada Allah dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha’ puasanya… Dan tidak ada kafarat (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”

Namun apabila dia menunda qadha nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347.)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menganggap bahwa memberi makan kepada orang miskin karena menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan berikutnya dapat dianggap sunnah dan tidak wajib. Dengan alasan bahwa pendapat tersebut hanyalah perkataan sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa hanya cukup diganti (diqadha’) dan tidak ada tambahan selain itu. ( Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 446-447.)

Mengqadha Puasa tidak wajib berurutan

Dasar dibolehkannya hal ini adalah firman Allah ta’ala:

Artinya : “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).  Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan”  (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4: 241, 243) dengan sanad yang shahih.)

Barangsiapa Meninggal dunia, Namun Masih memiliki Utang Puasa

Janganlah meninggalkan Dunia  tetapi kalian masih memiliki hutang puasa, dalilnya adalah hadits ‘Aisyah.

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan memuaskannya. ” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)

Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah kerabat, menurut Imam Nawawi. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 25.)

Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ahli waris. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 2: 712 dan Syarhul Mumthi’, 6: 451-452.)

Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 25.)